Mengapa Kita Percaya AI? Eksistensialisme dan Kebutuhan Manusia Akan Kepastian

Dalam dunia yang semakin terdigitalisasi, kecerdasan buatan (AI) telah menjadi bagian integral dari kehidupan manusia. Dari algoritma pencarian hingga sistem rekomendasi, dari chatbot layanan pelanggan hingga kecerdasan buatan dalam analisis data, AI telah membentuk cara kita memahami, berinteraksi, dan membuat keputusan. Namun, di balik ketergantungan ini, muncul pertanyaan filosofis yang mendalam: Mengapa kita percaya AI? Dalam artikel ini, kita akan menelaah peran eksistensialisme dalam kepercayaan manusia terhadap AI serta bagaimana kebutuhan akan kepastian mempengaruhi adopsi teknologi ini.

Kecerdasan Buatan dan Kebutuhan Manusia Akan Kepastian

Manusia pada dasarnya adalah makhluk yang mencari kepastian. Jean-Paul Sartre dalam Being and Nothingness (1943) menekankan bahwa manusia dilemparkan ke dalam dunia yang absurd, tanpa makna bawaan, dan harus menciptakan makna mereka sendiri. Dalam kondisi ini, ketidakpastian menjadi momok yang mengancam keseimbangan psikologis individu. AI, dengan kemampuannya dalam memproses data dalam jumlah besar dan memberikan jawaban berbasis probabilitas tinggi, menawarkan ilusi kepastian dalam dunia yang sering kali kacau dan tidak terduga.

Dalam pengambilan keputusan, manusia cenderung mencari pola dan struktur. Seperti yang dijelaskan oleh Nassim Nicholas Taleb dalam The Black Swan (2007), manusia memiliki kecenderungan untuk mencari narasi dalam kejadian acak, bahkan ketika tidak ada pola yang sebenarnya. AI mampu menawarkan solusi berbasis data yang tampak objektif dan rasional, memberikan perasaan bahwa ada ‘otoritas’ yang dapat diandalkan. Dengan demikian, AI tidak hanya berperan sebagai alat bantu, tetapi juga sebagai perpanjangan dari kecenderungan manusia untuk menghindari ambiguitas dan mencari kepastian dalam berbagai aspek kehidupan.

Kepercayaan terhadap AI: Antara Rasionalitas dan Irasionalitas

Secara rasional, kepercayaan terhadap AI sering kali didasarkan pada fakta bahwa teknologi ini didukung oleh data dan algoritma yang kompleks. Namun, kepercayaan ini juga memiliki aspek irasional. Daniel Kahneman dalam Thinking, Fast and Slow (2011) menjelaskan bagaimana manusia memiliki bias kognitif yang dapat membuat mereka mempercayai sistem bahkan ketika mereka tidak sepenuhnya memahami cara kerjanya. Fenomena ini disebut dengan automation bias, yaitu kecenderungan untuk lebih percaya pada hasil yang dihasilkan oleh sistem otomatis dibandingkan dengan evaluasi manusia sendiri.

Selain itu, AI sering kali diberikan personifikasi yang membuatnya tampak lebih dapat dipercaya. Sherry Turkle dalam Alone Together (2011) menjelaskan bagaimana manusia cenderung membangun hubungan emosional dengan teknologi yang dirancang untuk berinteraksi secara sosial. Asisten virtual seperti Siri atau Google Assistant, misalnya, memiliki pola komunikasi yang natural, menciptakan ilusi keintiman dan pemahaman. Dalam konteks eksistensialisme, ini bisa dipahami sebagai upaya manusia untuk mengurangi keterasingan (alienation) dengan menciptakan hubungan simbolis dengan teknologi.

Implikasi Etis dan Eksistensial

Kepercayaan terhadap AI membawa serta sejumlah implikasi etis dan eksistensial. Dari perspektif eksistensialisme, manusia bertanggung jawab atas tindakan dan keputusan mereka sendiri. Namun, dalam konteks AI, sering kali tanggung jawab ini dialihkan kepada teknologi. Hannah Arendt dalam The Human Condition (1958) memperingatkan bahwa teknologi yang semakin canggih dapat mengikis peran manusia dalam pengambilan keputusan etis. Keputusan berbasis AI dalam bidang seperti peradilan, perekrutan kerja, atau diagnosis medis dapat memberikan kenyamanan dalam bentuk kepastian, tetapi juga dapat menghilangkan elemen tanggung jawab manusia.

Di sisi lain, ketika AI semakin berkembang, pertanyaan tentang otonomi dan makna hidup manusia menjadi semakin relevan. Apakah kita semakin mengandalkan AI karena kita ingin menghindari ketidakpastian hidup? Ataukah AI sebenarnya hanya memperkuat kebutuhan mendasar manusia untuk mencari struktur dalam realitas yang kompleks? Sebagaimana diungkapkan oleh Yuval Noah Harari dalam Homo Deus (2016), manusia cenderung mengandalkan sistem berbasis data karena kita percaya bahwa data dapat memahami diri kita lebih baik daripada kita sendiri.

 

Kepercayaan manusia terhadap AI bukan sekadar fenomena teknologi, tetapi juga fenomena psikologis dan filosofis. Dalam pencarian akan kepastian, AI menawarkan solusi yang tampaknya objektif dan rasional, meskipun sering kali dibangun di atas bias kognitif dan ilusi kontrol. Dari sudut pandang eksistensialisme, AI dapat dipahami sebagai salah satu cara manusia menghadapi absurditas dunia dan mengelola kecemasan eksistensialnya.

Namun, kepercayaan ini juga harus disertai dengan kesadaran kritis. Seperti yang diperingatkan oleh Nick Bostrom dalam Superintelligence (2014), AI memiliki potensi untuk menjadi kekuatan yang tidak sepenuhnya dapat diprediksi dan dikendalikan oleh manusia. Oleh karena itu, sebagai pengguna dan pembuat teknologi, kita perlu memahami batasan AI, serta memastikan bahwa dalam mengejar kepastian, kita tidak kehilangan esensi dari tanggung jawab dan kebebasan manusia yang menjadi inti dari eksistensialisme itu sendiri.